Belajar Memaafkan Orang Tua demi Perasaan yang Lega

Bella Zoditama
3 min readAug 11, 2023

--

Dari kecil, aku sudah terbiasa untuk menulis. Walaupun tulisanku tidak pernah memenangkan lomba sekalipun atau bisa dibilang cukup bagus dibandingkan yang lain. Aku masih punya buku diary yang kutulis semasa sekolah dulu hingga saat ini masih suka kubaca jika ingin merasakan diriku di masa lalu dan kenaifan dan kebodohan yang akan kutertawakan. Sampai akhirnya aku menemukan secarik kertas ini.

Tulisanku yang mungkin ditulis di tahun 2018. Tentang ibuku.

Aku lupa ada masalah apa dengan beliau sampai aku bisa menulis seperti ini. Namun, jika dilihat tulisan-tulisan yang terbit di sini atau blog pribadi pada tahun-tahun sebelumnya, hubungan kami memang tidak benar-benar akrab.

Banyak hal yang kami ributkan, meskipun terkadang begitu sepele. Seperti misalnya aku yang menunda permintaannya untuk mencuci piring lalu akhirnya beliau yang mengerjakan hal tersebut sendiri. Atau saat keinginanku untuk masuk jurusan IPS saat SMA, ketika beliau menginginkan aku menjadi anak IPA, membuat kami agak sedikit tegang dan sedikit bicara selama satu semester. Hingga beliau menemukan aku ‘kabur’ ke Semarang tanpa meminta izin karena tidak sengaja mencari namaku di Google dan membaca tulisan di blog tentang perjalanan ke sana.

Ya, hubungan kami tidak pernah benar-benar baik. Bahkan saat ayahku pergi dan dua tahun kemudian beliau menikah lagi.

Namun, setelah sama-sama dewasa (setidaknya aku yang bertambah usia sehingga mampu berpikir cukup matang tidak seperti remaja tanggung) aku mengerti apa yang beliau rasakan. Apalagi memang tidak mudah rasanya mendidik seorang anak karena ini pertama kalinya ia menjadi orang tua (di kehidupan sekarang).

Ditambah dengan konten-konten di media sosial tentang mother wound, inner chid, dan hal lainnya, membuatku tersadar satu hal. Jika ingin hidupku lebih tenang, aku harus memaafkan orang tuaku.

Memaafkan atas ketidakadilan mereka saat aku masih kecil.

Memaafkan bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kesalahan.

Memaafkan ketidakhadiran mereka di momen-momen yang kuinginkan mereka ada.

Memaafkan karena mereka tidak pernah meminta maaf secara langsung.

Setelah menjalaninya pelan-pelan, ternyata semua ini terasa mudah dan tidak sesulit kelihatannya.

Saat bertemu dengannya, kami bisa dengan bebas bercerita seperti wanita dewasa. Ya, mungkin tetap ada beberapa rahasia yang tidak bisa kuungkapkan. Namun akhirnya aku juga menemukan banyak pelajaran menarik dari beliau di masa muda dan memiliki benang merah yang bisa menjelaskan ‘kenapa aku seperti ini, saat ini’.

Karena tentu saja hal itu tidak pernah lepas dari peran orang tua, kan? Lalu, jika memercayai tentang karma atau kehidupan di masa lampau, kami berdua perlu menyelesaikan urusan yang belum selesai di situ, sehingga bertemu kembali dan sempat berselisih paham.

Setelah memaafkan orang tua, apakah kami tidak pernah berselisih paham lagi?

Oh tentu saja tidak mungkin demikian. Perbedaan pendapat tetap selalu ada. Namun, aku berusaha melihat dari sudut pandang yang berbeda dan tidak ujug-ujug kesal atau marah karena keputusannya.

Mungkin memang tidak semua orang bisa seberuntung aku, yang bisa dengan mudah memaafkan orang tua mereka. Meskipun begitu, tidak ada salahnya untuk memproses luka-luka tersebut dan belajar memaafkan. Karena biar bagaimanapun, mereka adalah orang tua kita yang nantinya juga membutuhkan ‘pertolongan’ kita saat mereka meninggal nanti. Lewat doa.

--

--