How My Father Taught Me About Relationship

Bella Zoditama
3 min readOct 21, 2023

--

Rasanya sudah lama sekali tidak membicarakan almarhum Papa. Sebab, saya mencoba untuk menghargai perasaan keluarga baru Mama dan rasanya sudah banyak yang diceritakan tentang beliau. Namun kali ini, saya ingin menuliskan tentangnya. Sekali lagi.

Tiga belas tahun kemudian…

Setelah kepergian beliau selama-lamanya dan sekarang saya sudah beranjak dewasa, ada beberapa hal yang saya pelajari darinya. Tentang hubungannya dengan Mama dan perannya sebagai sosok Ayah.

Akan tetapi, sebelum memulai cerita ini, izinkan saya bercerita sedikit mengenainya. Ayah, yang saya panggil Papa adalah orang yang biasa-biasa saja. Ia tidak istimewa atau memiliki jabatan yang mentereng semasa ia hidup.

Ia terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara (sebenarnya enam bersaudara tapi dua anak meninggal sebelum saya lahir) dan dibesarkan oleh ibu tunggal karena kedua orang tuanya bercerai. Menurut cerita Eyang, sedari kecil ia selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik dan yang ia bisa. Mengerjakan apa saja untuk mendapatkan uang tambahan dan membantu Eyang, termasuk saat kuliah sehingga kelulusannya menjadi molor.

Namun saat kuliah inilah Papa bertemu dengan Mama dan memutuskan menikah di tahun 1989, sebelum dua tahun kemudian lahirlah saya sebagai anak pertama.

Waktu anak-anak, Papa adalah seorang Papa pada umumnya. Semua urusan sekolah, hari-hari, semua diberikan kepada Mama sebagai nahkodanya. Ia merasa cukup memberikan finansial agar keluarganya tercukupi.

Kami mungkin agak berjarak karena saya merasa tidak begitu banyak mengetahui tentangnya. Selain itu, setiap minggu pun ia sering tidak berada di rumah karena bekerja atau pergi ke luar kota. Biasanya ia suka pulang malam ketika kami sudah siap-siap tidur atau sedang belajar untuk pelajaran besok.

Meskipun demikian, saat ia berada di rumah atau sedang mode istirahat di akhir pekan, ia hadir. Bukan hanya raganya, tapi juga jiwanya.

Ia senang mengajak kami jalan-jalan ke Mall atau sesekali ke museum, pantai, dan tentunya pergi mudik.

Kemudian, dengan video recorder, ia akan merekam aktivitas kami dan saya berlenggak-lenggok seperti model. Ia pun sering mengeluarkan kamera untuk menangkap momen-momen terbaik dari kami. Sayang, semua itu nampaknya hilang karena kami beberapa kali berpindah rumah.

Mungkin kehadirannya memang tidak banyak, karena bisa jadi ia hanya tidak tahu caranya. Atau ia merasa sudah cukup memberikan finansial supaya kehidupan kami selalu cukup dan tidak terasa kurang.

Nah, setelah umur segini, saya seakan menyadari bahwa mungkin bahasa sayangnya berbeda. Namun, terlihat sekali bahwa Papa begitu sayang pada Mama. Ia memperlakukan Mama seperti Ratu.

Waktu menikah dan Mama belum bekerja, ia sudah memfasilitasi seorang Pembantu Rumah Tangga untuk membantu membereskan rumah (yang kala itu hanyalah rumah pinjaman dari saudara di Jatinegara). Kemudian, Mama hamil saya dan kami hidup bertiga.

Lalu, tiga tahun kemudian, adik saya lahir dan Mama memutuskan menjadi pegawai negeri. Entah saya tidak tahu pasti apakah terjadi konflik antara mereka berdua saat Mama memutuskan bekerja, tapi Papa selalu berusaha mendukung apa pun keputusan Mama. Termasuk untuk melanjutkan studi S2 sebagai pelengkap untuk status kepegawaiannya.

Setiap pergi ke luar kota, Papa juga selalu membelikan Mama oleh-oleh. Entah pakaian atau perhiasan.

Namun Mama tetaplah Mama. Pernah suatu waktu, Papa membelikan set perhiasan dengan nominal yang cukup mahal (di waktu itu) untuk hadiah ulang tahun. Ia meminta bantuan saya memilihkan modelnya.

Eh ternyata, modelnya tidak ia sukai. Hingga akhirnya set perhiasan itu dijual kembali dan diganti emas atau perhiasan lainnya (saya lupa). 🥲

Walau sering bertengkar masalah suami-istri, Papa seakan-akan selalu berusaha untuk mempertahankan rumah tangganya. Mungkin ia melihat masa lalunya sendiri, jadi hal ini tidak mau diteruskan ke kami.

Bahkan sebelum ia meninggal pun, ia menunggu Mama pulang. Baru setelah tahu Mama sudah berada di sampingnya, ia mengembuskan napas terakhir. Sayangnya, ia tidak menunggu saya dan adik untuk pulang dan pergi duluan.

Setelah Papa pergi, hidup saya seperti kosong dan hampa. Karena ia pergi tanpa sempat merayakan ulang tahun saya ke-19 yang sebenarnya tinggal sebulan lagi, tidak sempat melihat saya lulus, atau menikah.

Selama beberapa tahun setelah kepergiannya, hidup saya hanya seputar bergonta-ganti laki-laki. Apalagi setelah saya gagal mempertahankan hubungan dengan mantan kekasih karena hubungan jarak jauh.

Setiap ada yang mendekati, saya langsung mengiyakan ajakan mereka untuk berpacaran. Tidak peduli dengan fisik atau red flag yang berkibar. Yang saya pedulikan kala itu adalah saya tidak mau kesepian.

Saya mencari sosok Ayah yang tidak saya dapatkan pada orang lain.

Walaupun kala itu banyak juga teman-teman saya yang mengingatkan keputusan gila ini, saya seakan cuek saja. Dan cukup mendengarkan dari telinga kanan dan keluar langsung di telinga kiri.

Namun, setiap awal pasti mempunyai akhir. Termasuk semua kegilaan tersebut. Pada akhirnya, hati saya berlabuh kepada satu orang yang menyayangi saya dengan tulus dan apa adanya.

Dirinya mungkin tidak akan bisa menggantikan sosok Papa, tapi setidaknya saya tahu bahwa saya juga pantas untuk mendapatkan kasih sayang dan hubungan yang baik seperti Papa dan Mama.

--

--