Perihal Buka dan Tutup Jilbab*

Bella Zoditama
5 min readAug 14, 2016

--

http://www.ultraupdates.com/

Aku lahir, tumbuh, dan dididik dalam Islam. Ya, lantaran kedua orangtua serta keluarga besar rata-rata memang beragama Islam. Tentu akan berbeda jika aku bukan lahir dari keluarga ini, mungkin juga akan secara otomatis mengubah takdir dan jalan hidupku. Aku bisa saja menjadi orang lain, punya nama yang berbeda dan tidak akan pernah menulis ini.

Meskipun demikian, tidak seperti cerita teman-temanku pada masa kecilnya, orangtuaku cenderung memberikan kebebasan bagiku untuk beragama. Dalam artian begini, jika dulu anak-anak kecil seumuranku pernah dipukuli dengan sabuk oleh orangtua karena tidak pernah salat, kedua orangtua tidak pernah melakukannya.

Ketika yang lainnya diajak mengaji ke musola atau langgar sepulang sekolah untuk mengaji, aku sama sekali tidak pernah merasakannya. Orangtuaku memanggilkan guru ngaji ke rumah atau kaset mengaji hingga aku bisa belajar membaca Al-Quran dan tafsirnya.

Atau ketika bulan Ramadan tiba dan anak-anak berbondong ke masjid hanya untuk meminta tandatangan penceramah, maka aku hanya perlu mendengarkan ceramah di televisi tanpa harus bersusah payah berebut tandatangan.

Sebagian dari kamu bisa jadi menganggap, “lalu apa yang dilakukan orangtuaku?”

Aku rasa orangtuaku mengajarkan kebebasan dan toleransi. Sesuatu hal yang jarang didapatkan sekarang.

Kita tidak bisa menuntut orang lain untuk melakukan ibadah, kalau dalam dirinya sendiri tidak ikut tergerak melakukannya.

Ini adalah cerita pengulangan, bisa saja kamu pernah membaca kisahku sebelumnya. Namun, bukankah hidup terkadang perihal pengulangan itu sendiri? Maka, aku ingin menceritakannya lagi. Beberapa kali. Sampai bosan.

Di jenjang pendidikan dasar, aku sekolah di sekolah swasta umum beryayasan Buddha. Secara otomatis, teman-temanku terdiri dari berbagai macam etnis, suku, dan agama. Kebanyakan teman-temanku juga berkulit putih dan bermata sipit. Mereka pun biasanya pintar-pintar dibandingkan kami — orang-orang berkulit sawo matang.

Menjadi salah satu agama minoritas membuatku kesulitan beribadah bahkan mendalami agamaku sendiri. Rasa-rasanya selama enam tahun mengecap bangku pendidikan sekolah dasar, aku mendatangi musola itu hanya untuk belajar agama atau praktik ibadah saja. Selebihnya ruangan malah terkunci.

Mungkin ketika kamu sedang belajar menghapal buku Iqra, di saat itu pula aku sedang mempelajari nada dan bermain pianika lagu Malam Kudus.

Meskipun terdengar agak aneh, tapi aku senang bisa bersekolah di sana. Setidaknya aku bisa berkenalan dengan orang-orang yang tidak homogen.

Kondisi seperti masa kecil itu rupanya terbawa hingga kini. Aku masih tidak berubah bila dibandingkan aku di umur 10 tahun. Aku masih anak perempuan yang sama seperti dulu, hanya saja rupa dan bentuk fisikku yang berubah. Sisanya — sekali lagi — masih sama.

Aku masih menjadi orang yang jarang beribadah. Beribadah kalau ‘ingin’ dan berdoa seperlunya. Hubungan aku dan Tuhan sedikit agak berbeda jika dibandingkan dengan yang lain. Dalam artian orang-orang yang menganggap ibadah adalah bagian dari gaya hidup bukan hanya sekadar ingat atau paksaan.

Kembali memutar waktu ke masa kanak-kanak.

Ibu ketika menikah sampai punya tiga anak (aku punya dua adik) belum berjilbab juga. Beliau bahkan suka berpakaian ‘terbuka’ dengan memperlihatkan bagian ketiak. Setelah adikku berumur 2 tahun, sekitar tahun 2005, ibu aku memutuskan untuk mengenakan jilbab yang menurut istilah orang-orang adalah hijrah.

Namun, ibu tetaplah ibu. Meskipun sudah berjilbab pun, beliau memberikan kebebasan untuk kami dalam berpakaian. Tidak apa belum berjilbab, ssalkan rapi dan sopan.

Beliau juga sering mengingatkan aku untuk salat, bahkan menanyakan aku sudah salat apa belum tapi lagi-lagi tidak sampai memaksa kalau aku harus salat.

Entah pengaruh lingkungan atau panggilan, aku pun turut menutup aurat di usia 22 tahun. Sebagai salah satu langkah pertama yang aku lakukan adalah dengan mengganti foto profil semua akun media sosial menjadi aku yang mengenakan jilbab.

Syukurlah ketika itu mendapatkan respon dan like yang positif.

Wah, Bella selamat, ya.

Kamu tambah cantik, Bel, pake hijab begitu.

Semoga istiqomah.

Banyak juga yang tidak menyangka terhadap keputusan yang aku ambil. Bisa jadi beberapa orang menganggap kalau perempuan memutuskan untuk berjilbab adalah langkah awal yang berani. Dulu, memang perempuan yang mengenakan jilbab tidak sebanyak sekarang, yang menjadi komoditi pasar yang bagus nan begitu populer.

Aku tentu senang dan merasa bersyukur sekali. Jilbab membuatku merasa nyaman dan merasa pantas untuk semakin dekat dengan agama. Apalagi jilbab adalah sebuah identitas baruku yang sering dikira nonis (Non Islam) karena aku memiliki wajah oriental dan namaku tidak berbau Islam.

Tahun lalu, aku memilih satu langkah berani dengan melepaskan jilbabku. Orang-orang kembali bereaksi dengan mengomentari tindakan yang aku ambil. Tak jarang banyak juga yang menyayangkan keputusanku ini. Apalagi bagi mereka mungkin perempuan yang melepas jilbab adalah perempuan yang buruk dan tidak pantas.

Dari @kopilovie. Setahun yang lalu

Walaupun tidak mengenakan jilbab dalam keseharian serta foto profil di media sosial, aku masih mengenakan jilbab ke kantor. Hanya perjalanan dan ketika di kantor. Kalau sedang merasa gerah, aku suka masuk ke dalam toilet umum, melepas jilbabku dan baru pulang ke rumah.

Ternyata keputusanku itu kembali mendapat kontroversi. Banyak juga orang-orang yang mengintervensi keputusanku.

Lho kenapa kamu pake jilbabnya ke kantor doang? Mending nggak usah dipake aja sekalian.

Kamu nggak apa-apa kok, nggak pake jilbab ke kantor. Senyamannya kamu aja. Karena ada juga cewek-cewek berjilbab aja tapi nggak salat.

Mau lepas jilbab juga nggak apa-apa, daripada kamu pake jilbab setengah-setengah begini.

Rasanya aku pengin meng-yaelah-kan orang-orang yang berkata demikian di depanku.

Nggak cukup, ya, ngurusin dirimu sendiri sampe harus ngatur hidup orang lain? Nggak cukup, ya, pertanyaan ‘kapan’, sampai sekarang harus ada pertanyaan ‘kenapa’?

Hanya saja bukan tipikalku yang seperti itu, aku hanya bisa tersenyum sambil menganggapnya hanya angin lalu.

Iya, aku sengaja kayak gini siapa tahu nanti jadi terbiasa terus memutuskan buat berjilbab lagi.

Biasanya itu template jawaban yang kuutarakan ketika orang-orang menanyakan perihal yang sama berulang-ulang. Itu jawaban yang paling rasional dan mungkin menyenangkan bagi beberapa orang untuk kukatakan.

Kalaupun ada yang bertanya, “Bella, kapan kamu pake jilbab?”

Aku akan menjawab, “Udah pernah…”

*Cerita aku tidak patut ditiru dan dicontoh. Ini hanya sekadar refleksi dari, untuk, dan bagi diri sendiri

--

--