Warisan Itu Bernama Ingatan dan Kenangan

Bella Zoditama
5 min readSep 15, 2024

--

Waktu telah menunjukkan sekitar pukul tiga sore saat Sancaka yang kami naiki dari Yogyakarta sampai di Stasiun Madiun. Ini kali pertama kami hanya berangkat berdua setelah tiga tahun tidak mudik. Karena lapar akhirnya kami memutuskan untuk makan di depot sebrang stasiun yang lupa namanya apa. Pokoknya ada di samping Tomoro Coffee yang baru buka. *Penting

Saya memesan nasi rames, sementara Danis ayam goreng dan rawon. Ini pertama kalinya dia makan rawon yang otentik karena saya sempat membuatnya juga tapi belum ada perbandingan. Katanya, rasa masakan saya dengan di restoran itu mirip, jadi bisa dibilang sama-sama enak.

Setelah makan, kami akhirnya ke rumah masa kecil Mama dan menginap selama kurang lebih tiga hari di sana. Rumah ini sudah berubah total, karena dibangun ulang dengan sentuhan yang lebih modern. Lagipula, rumah yang dulu memang sudah kelihatan usang dan lapuk.

Meskipun tampil berbeda, tapi aroma rumah ini masih mirip (kalau tidak bisa dibilang sama) dengan ingatan masa kecil saya dulu. Rumah yang sempat dihuni oleh Mama beserta saudara-saudaranya dan menjadi tempat singgah ketika saya dan sepupu berdatangan di Hari Raya.

Biasanya kami akan menggelar karpet atau terpal panjang dan tidur di ruang keluarga. Sementara para orang tua menginap di kamar mereka. Rasanya nyaman dan hangat sekali bisa berkumpul kembali walaupun waktu itu hanya dengan satu kipas angin kecil dan sepupu saya dari Bandung sering merasa kegerahan. Hahaha…

Saya masih bertemu dengan Nenek sampai usia saya 6 tahun sebelum tahun 1997 dia meninggal dunia. Maka saat datang, saya bisa membayangkan aroma Nenek saat saya mencium tangannya. Atau ketika ia mengajak para cucunya yang ada saat itu makan pentol (bakso) sambil duduk-duduk di dekat pintu supaya isis (dingin). Kadang saya juga suka menguping saat Nenek berbicara dengan anak-anak pakai bahasa Jawa walaupun sebenarnya tidak sepenuhnya mengerti.

Sementara Kakek sudah meninggal jauh sebelum saya lahir, yaitu ketika Mama masih tercatat sebagai mahasiswa. Jadi ya tidak ada kenangan soal beliau dan hanya lewat pigura atau album foto yang ada di rumah, serta dari ceritanya saja.

Namun, entahlah seperti semesta mendukung, sebenarnya niatan saya untuk pulang itu adalah ingin lebih mengenal keluarga dari Mama dan almarhum Papa yang sama-sama dari Madiun.

Sebab, bisa dibilang hal ini sebagai perjalanan untuk lebih mengenal leluhur. Ya, kira-kira seperti itu.

Lalu, karena mengalami jetlag dan masih segar, saya sempat membongkar lemari lama yang masih Mama pakai untuk menyimpan barang. Rupanya beberapa isinya pun dibiarkan begitu saja. Di situ saya menemukan banyak hal baru yang baru saya tahu. Karena dulu pas masih kecil, lemari adalah salah satu barang terlarang yang tidak boleh dipegang.

Di dalamnya ada beberapa potret Kakek dan Nenek selagi muda. Ada juga surat pernikahan mereka di mana Kakek menikah usia 20 tahun, Nenek 18 tahun. Lalu surat-surat keanggotaan Kakek sebagai anggota TNI, surat kredit motor yang masih terbaca jelas, piagam-piagam dan sertifikat, serta beberapa surat berharga lainnya. Saat melihat itu semua rasanya langsung DEG! kayak akhirnya saya bisa menemukan apa yang saya cari.

Hari sudah malam, perkepoan tentang keluarga ini pun berhenti.

Hari berikutnya, saya membuka lemari satu lagi. Ini juga salah satu lemari yang tidak boleh dibuka karena tidak ada kuncinya tapi ternyata sekarang terbuka dan bisa dilihat. Lemari ini lebih banyak album-album foto dibandingkan lemari satunya yang lebih untuk menyimpan dokumen.

Saya buka satu per satu album foto itu. Ternyata isinya seperti sebuah harta karun yang tidak ternilai harganya. Ada potret-potret keluarga Mama sewaktu kecil, ada foto hitam putih Kakek (tampaknya) sewaktu pelatihan, pentas seni anak-anak (maksudnya Mama dan saudaranya), foto-foto saat mereka remaja dan mulai berkuliah, dan ternyata ada foto saya masih bayi! Nampaknya album foto ini diambil saat titahan atau selamatan kelahiran saya.

Di situ Nenek masih tampak sehat dan terlihat bahagia cucunya lahir. Padahal saya termasuk cucu yang sudah entah keberapa karena Mama anak terakhir dari delapan bersaudara.

Ada juga foto-foto saya bayi bermain dengan sepupu seumuran. Lucu sekali, karena saya tidak mengingat momen itu tapi ada saya dengan kepala gundul dan masih mungil sekali.

Terus hampir semua perempuan dalam keluarga ini pasti punya album foto sendiri dengan disusun sesuai gaya masing-masing. Akan tetapi yang membuat sedih adalah ketika saya melihat alm. adik Mama, yang dipanggil Tante Peni. Sama seperti Kakek, dia juga meninggal jauh sebelum saya lahir.

Tidak banyak yang saya tahu tentangnya karena Mama juga seperti membatasi diri bercerita tentang saudari terakhirnya itu. Namun jika dilihat dari album foto, dia nampaknya ceria dan easy going. Beberapa foto bahkan diselipkan text box yang isinya pun nyeleneh dan lucu. Pantas Mama pernah bilang kalau saya mirip dia karena sama-sama suka menulis.

Satu hal yang membuat saya tertarik lainnya adalah melihat catatan Kakek. Ternyata beliau termasuk orang yang senang mencatat segala sesuatunya. Ada halaman yang berisi tentang biodata dia, Nenek, dan sembilan anaknya. Lengkap dengan tanggal lahir dan weton mereka. Hehehe…

Lalu ada juga tulisannya untuk menyumbangkan sesuatu ke masjid, sesuai nazarnya karena salah satu anaknya keterima perguruan tinggi. Di halaman lain, berisi tentang pemikiran dia tentang situasi yang terjadi, tapi ini sebisa pemahaman saya karena tulisannya sulit dibaca. Termasuk ada pembahasannya tentang orba dan PKI. Ngueeengggg… Kalau ini saya tidak bisa cerita banyak.

Namun saya sempat melihat perjalanan kariernya, beliau memang sempat ikut Agresi Militer II dan beliau sendiri dimakamkan di Tanah Makam Pahlawan Madiun.

Di hari berikutnya, ditemani oleh adik almarhum Papa, kami diantar ke makam Kakek (saya memanggil ayah Papa juga dengan Kakek). Ini kali pertama saya datang ke sana, karena tidak lama setelah Kakek meninggal, Papa meninggal. Lalu Kakek-Eyang sudah bercerai sejak saya masih kecil, dan beliau sudah menikah lagi. Jadi intinya sih saya nggak ada yang bisa menemani ke sana, maka baru terealisasi kemarin.

Dia dimakamkan di pemakaman warga, berdampingan dengan keluarganya yang lain. Saat di rumah Nenek, saya sempat melihat fotonya ketika menghadiri pernikahan anaknya (Papa) karena saya sedikit lupa dengan wajahnya.

Dulu sewaktu Kakek masih ada, sebulan sekali pasti dia suka mengirimkan tausiyah. Lalu dia suka menelpon malam sambil menanyakan sudah ngaji belum, sudah salat belum, dan didoakan yang baik-baik. Saya yang dari dulu ndableg ini menjawab iya-iya aja dan nggak pernah membaca tausiyah yang dikirimkannya, tapi selalu disimpan oleh Papa.

Habis dari situ, kami mampir ke rumah Eyang. Ya, dari semuanya tinggal Eyang yang masih hidup.

Umurnya sudah 80 tahun lebih, tapi beberapa tahun belakangan kondisinya mengalami penurunan. Beliau sempat stroke jadi sekarang sudah susah bicara. Tapi masih bisa berjalan dengan lancar, mandi sendiri, walaupun sudah mulai pikun dan pendengaran menurun.

Saat melihat saya, Eyang sempat bingung ini siapa yang datang. Lalu mungkin karena aroma atau ingatannya agak kembali, dia tersenyum. Termasuk yang sering dilakukannya saat sehat, menyuruh makan.

Berbeda dengan keluarga Mama yang saya tahu sedikit banyak tentang latar belakangnya, keluarga Papa lebih banyak misterinya. Hahahaha…

Ya, karena beliau jauh lebih tertutup. Dan rasanya saya tidak pernah benar-benar bertemu saudara selain dari keluarga inti.

Jadi sebenarnya agak sulit mencari tahu lebih banyak tentang keluarga ini. Terlebih tidak banyak album foto yang bisa dilihat dan cerita yang saya dengar.

Ah, ya sudah. Walaupun belum bisa jadi cerita utuh, setidaknya saya sudah mengenal lagi bagian-bagian yang sempat terlewatkan.

Warisan yang tidak hanya berbentuk materi.

--

--